Pulau Weh
Pulau Weh | |
Tinggi | 617 m[1] |
Letak | |
Letusan terakhir |
Pulau Weh adalah pulau vulkanik kecil yang terletak di barat laut pulau Sumatra. Pulau ini awalnya terhubung dengan pulau
Pulau ini terkenal dengan ekosistemnya. Pemerintah
Geografi
Pulau Weh terletak di Laut Andaman, tempat 2 kelompok kepulauan, yaitu Kepulauan Nikobar dan Kepulauan Andaman, tersebar dalam satu garis dari Sumatra sampai lempeng Burma. Laut Andaman terletak di lempeng tektonik kecil yang aktif. Sistem sesar yang kompleks dan kepulauan busur vulkanik telah terbentuk di sepanjang laut oleh pergerakan lempeng tektonik.[2]
Pulau ini terbentang sepanjang 15 kilometer (10 mil) di ujung paling utara dari Sumatra. Pulau ini hanya pulau kecil dengan luas 156,3 km2, tetapi memiliki banyak pegunungan. Puncak tertinggi pulau ini adalah sebuah gunung berapi fumarolik dengan tinggi 617 meter (2024 kaki).[1]" Letusan terakhir gunung ini diperkirakan terjadi pada zaman Pleistosen. Sebagai akibat dari letusan ini, sebagian dari gunung ini hancur, terisi dengan laut dan terbentuklah pulau yang terpisah.
Di kedalaman 9 meter (29.5 kaki) dekat dari
Terdapat 4 pulau kecil yang mengelilingi Pulau Weh: Klah, Rubiah, Seulako, dan Rondo. Diantara keempatnya, Rubiah terkenal sebagai tempat pariwisata menyelam karena terumbu karangnya. Rubiah menjadi tempat persinggahan warga Muslim Indonesia yang melaksanakan haji laut untuk sebelum dan setelah ke Mekkah.[4]
[sunting] Penduduk
Pulau Weh merupakan bagian dari provinsi Aceh. Sensus tahun 1993 menunjukan terdapat 24.700 penduduk di pulau ini.[5] Mayoritas dari populasi tersebut adalah suku Aceh dan sisanya Minangkabau, Jawa, Batak, dan Tionghoa.[6] Tidak diketahui kapan pulau ini pertama kali dihuni. Islam adalah agama utama, karena Aceh adalah provinsi khusus yang menetapkan hukum Syariah. Namun, terdapat beberapa orang Kristen dan Buddha di pulau ini. Mereka kebanyakan bersuku Jawa, Batak, dan Tionghoa.
Pada tanggal 24 Desember 2004 gempa bawah laut yang besar (9 skala Richter) terjadi di Laut Andaman. Gempa ini memicu terjadinya serangkaian tsunami yang menewaskan sedikitnya 130.000 orang di
[sunting] Ekonomi
Lukisan pelabuhan Sabang tahun 1910.
Perekonomian Pulau Weh sebagian besar didominasi oleh agrikultur. Hasil utamanya adalah cengkeh dan kelapa.[6] Peternakan ikan skala kecil berada di wilayah tersebut, dan nelayan secara besar-besaran menggunakan peledak dan sianida dalam memancing. Oleh sebab itu, semenjak tahun 1982, suaka alam dibentuk oleh pemerintah Indonesia yang termasuk 34 km2 di daratan dan 26 km2 di sekitar lautan.[5]
Dua kota utama di pulau ini adalah Sabang dan Balohan. Balohan adalah pelabuhan kapal feri yang bertugas sebagai penghubung antara pulau Weh dan Banda Aceh di daratan Sumatra. Sabang merupakan dermaga penting semenjak akhir abad ke-19, karena kota ini merupakan pintu masuk ke selat Malaka.
SS Sumatra berlabuh di Sabang tahun 1895
Sebelum terusan Suez dibuka tahun 1869, kepulauan
Pada tahun 1883, dermaga Sabang dibuka untuk kapal berdermaga oleh Asosiasi Atjeh.[9] Awalnya, pelabuhan tersebut dijadikan pangkalan batubara untuk Angkatan Laut Kerajaan Belanda, tetapi kemudian juga mengikutsertakan kapal pedagang untuk mengirim barang ekspor dari
Setiap tahunnya, 50.000 kapal melewati Selat Malaka.[10] Pada tahun 2000, pemerintah
Pulau Weh juga terkenal dengan ekoturismenya. Menyelam, mendaki gunung berapi dan resor pantai adalah daya tarik utama dari pulau ini. Desa kecil Iboih, dikenal sebagai lokasi untuk berenang di bawah laut. Beberapa meter dari Iboih adalah Rubiah, yang dikenal dengan terumbu karangnya.[12]
[sunting] Ekosistem
Selama tahun 1997-1999, Conservation International melakukan survei terhadap terumbu karang di wilayah tersebut.[5] Menurut survei, keanekaragaman terumbu relatif sedikit, tetapi keanekaragaman spesies ikan sangat besar. Beberapa spesies ditemukan selama survey termasuk diantaranya Pogonoperca ocellata, Chaetodon gardneri, Chaetodon xanthocephalus, Centropyge flavipectoralis, Genicanthus caudovittatus, Halichoeres cosmetus, Stethojulis albovittatus, Scarus enneacanthus, Scarus scaber dan Zebrasoma desjardinii.[5]
Gempa bumi disekitar Aceh dan Laut Andaman tahun 2004
Pada 13 Maret 2004, spesimen langka dan tidak biasa dari spesies hiu bermulut besar, terdampar di pantai Gapang.[13] Hiu bermulut besar memiliki mulut besar yang khas, hidung yang sangat pendek dan lebar. Spesimen tersebut merupakan penemuan yang ke 21[13] (beberapa mengatakan ke 23[14]) dari spesiesnya sejak penemuannya pada tahun 1976. Hiu jantan yang berukuran panjang 1.7 meter (5.58 kaki) dan memiliki berat 13.82 kg (30.5 pon) yang membeku dikirim ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk penelitian lebih lanjut. Sampai tahun 2006, hanya terdapat 36 penemuan hiu bermulut besar di Samudra Pasifik, Hindia, dan Atlantik.[15]
Gempa bumi dan tsunami tahun 2004 mempengaruhi ekosistem di pulau tersebut.[16] Di desa Iboih, petak tanaman bakau yang besar hancur. Puing dari daratan ditumpuk di karang-karang sekitarnya sebagai akibat tsunami. Pada tahun 2005, sekitar 14.400 bibit bakau ditanam kembali untuk menyelamatkan hutan bakau tersebut..[17]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar